Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Kaidah Keempat
Sesungguhnya orang-orang musyrik di masa kita lebih parah syiriknya daripada orang-orang terdahulu. Karena orang-orang [musyrik] terdahulu melakukan syirik ketika lapang dan mengikhlaskan [ibadah] ketika terjepit. Adapun orang-orang musyrik masa kita, syiriknya terus-menerus; dalam situasi lapang maupun sempit.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka menaiki kapal [dan khawatir tenggelam] maka mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Tetapi tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, kemudian tiba-tiba mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-‘Ankabut: 65)
Selesai. Semoga salawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Muhammad, keluarganya, dan segenap para sahabatnya,
[lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 202]
Penjelasan Global
Dengan keterangan ini, Syaikh ingin menjelaskan kepada kita bahwa kemusyrikan yang ada pada masa sekarang ini bahkan lebih buruk daripada kemusyrikan yang terjadi di masa silam. Sebab kaum musyrikin di masa itu berbuat syirik pada waktu keadaan lapang dan aman. Adapun dalam kondisi terjepit dan genting maka mereka menyadari bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka selain Allah, oleh sebab itu mereka berdoa kepada Allah semata dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Berbeda dengan kaum musyrikin di masa kini; yang beribadah kepada selain Allah tidak hanya dalam kondisi lapang, bahkan juga dalam keadaan terjepit atau tertimpa bencana, sebagaimana bisa kita saksikan.
Keadaan Musyrikin Masa Silam
Imam al-Baghawi rahimahullah menceritakan, bahwa Ikrimah berkata, “Adalah orang-orang jahiliyah tatkala itu apabila berlayar di lautan maka mereka pun membawa serta berhala-berhala mereka. Pada saat angin bertiup semakin keras [terjadi badai] maka mereka pun melemparkan berhala-berhala itu ke laut lalu berdoa, “Wahai Rabb, wahai Rabb.” [selamatkanlah kami].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1001)
Orang-orang musyrik dahulu berbuat syirik pada keadaan tentram dan lapang; mereka beribadah kepada berhala, batu, dan pohon selain beribadah kepada Allah. Pada saat mereka dalam keadaan susah dan hampir celaka, maka mereka mengikhlaskan doanya kepada Allah saja. Mereka tidak menyeru kepada berhala, batu, pohon atau makhluk apa pun yang sebelumnya mereka persekutukan dengan Allah. Apabila pada kondisi susah dan sempit tidak ada yang bisa menyelamatkan selain Allah maka mengapa mereka justru beribadah kepada selain-Nya pada kondisi lapang? (lihat transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 30)
Keadaan Musyrikin Masa Kini
Adapun kaum musyrikin pada masa kini, apabila mereka tertimpa kesusahan dan kesempitan maka mereka berdoa kepada berbagai sesembahan dan pujaan selain Allah, semisal al-Idrus, Husain, Badawi, atau para wali yang sudah meninggal. Bahkan ada juga diantara mereka yang mendatangi pohon atau batu-batu keramat. Maka tentu saja perbuatan mereka di masa ini lebih parah syiriknya daripada perbuatan musyrikin di masa silam. Karena di masa silam mereka hanya berbuat syirik di masa lapang, tidak di dalam keadaan sempit dan terjepit. Adapun para pemuja selain Allah di masa kini, mereka berbuat syirik di masa lapang maupun sempit. Akan tetapi betapa sedikit orang yang memahami masalah ini dengan baik. Sebagian orang mungkin berkata, “Bukankah orang-orang itu juga sholat, berzakat, dan berpuasa? Bagaimana bisa mereka dikatakan lebih parah daripada kaum musyrikin pemuja berhala?”. Maka kita katakan -sebagaimana sudah diterangkan dalam kaidah di awal- bahwa ibadah tidak akan bermanfaat tanpa tauhid. Sebagaimana sholat tidak diterima tanpa bersuci. Lantas bagaimana lagi jika perbuatan syirik itu dilakukan dalam kondisi lapang dan sempit, tentu ini lebih parah daripada orang yang berbuat syirik dalam kondisi lapang saja. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah tatkala berbagai perbuatan syirik ini tersebar di berbagai negeri kaum muslimin. Mereka berdoa, menyembelih dan beristighotsah kepada selain Allah (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alus Syaikh hafizhahullah, hal. 22-23)
Kemusyrikan Di Tanah Air
Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan berhala telah berkembang di negeri ini semenjak dahulu kala. Tidak terhitung tempat-tempat yang dianggap keramat, dijadikan sebagai tempat sesaji, demikian pula patung-patung dan candi-candi yang menandai gaya hidup paganisme yang telah mengakar di sebagian masyarakat. Tidak sedikit sosok mistis yang diagung-agungkan dan dianggap memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Benda-benda ‘sakti’ dan pusaka pun dikeramatkan. Berbagai ritual persembahan pun dilakukan. Entah yang berlokasi di atas gunung, di tengah kota, di pedesaan, sampai pun di pesisir pantai. Tradisi yang erat dengan keyakinan nenek moyang, yang terwarnai oleh kesyirikan (silakan membaca sebuah buku menarik berjudul Bahaya..!!! Tradisi Kemusyrikan Di Sekitar Kita tulisan H. Willyuddin A.R. Dhani, S.Pd)
Dan yang lebih mengerikan lagi di masa ini adalah munculnya gerakan Islam Liberal yang menebarkan berbagai virus kekafiran ke dalam tubuh umat ini. Sehingga iman dan tauhid tidak ada lagi harganya bagi mereka. Berikut ini sebagian contohnya. Seorang mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis IAIN Walisongo Semarang bernama Muhammad Zubair Hasan menulis dalam situs Islam Liberal, “Dalam tataran eksklusif, kalau ditanya agama mana yang paling benar, sebagai umat Islam tentu kita akan mengatakan kalau agama kitalah yang paling benar. Umat dari agama lain pun akan mengatakan hal yang sama kalau diberi pertanyaan serupa. Umat Kristen akan mengatakan Kristenlah yang paling benar, dan seterusnya. Tapi dalam tatanan inklusif, ketika kita hidup dalam suatu masyarakat yang kompleks, yang di dalamnya terdapat berbagai jenis masyakat berbeda agama yang menjadi satu kesatuan menjadi sebuah kelompok sosial, truth claim terhadap agama masing-masing harus dihilangkan. Pada saat berada dalam posisi tersebut, kita harus mengakui agama lain sebagai agama yang benar. Tetapi walapun begitu, bukan berarti Islamlah agama yang paling selamat. Tak ada jaminan orang Islam akan masuk surga kelak, karena memasukan seseorang ke dalam surga adalah hak prerogatif Allah. Allah milik semua umat manusia. Setiap umat manusia, apapun agama mereka, berhak memasuki surga yang telah Allah janjikan bagi setiap manusia yang melakukan kebaikan.” (lihat artikelnya yang berjudul Memeluk Islam Bukan Garansi Keselamatan yang dimuat oleh situs resmi JIL)
Ahmad Wahib -salah seorang pelopor pemikiran liberal- mengatakan -di dalam kebingungannya-, “Dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedangkan di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut di tangan kirinya.” (lihat dalam Pembaharuan Tanpa Apologia, hal. 24)
Cobalah anda simak ucapan seorang Ahmad Wahib -yang sangat dipuja pemikirannya oleh kaum Liberal- dalam kebingungannya, “Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim…” (lihat dalam Pembaharuan Tanpa Apologia, hal. 58-59)
Tentu saja apa yang mereka katakan bertentangan dengan firman Allah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap muslim bisa mengetahuinya dengan gamblang dan mudah, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mengetahui rusaknya pemikiran mereka ini. Semoga Allah memberikan taufik kepada pemerintah negeri ini untuk memberangus pemikiran ini dan mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Allahumma amin.
Solusi Problematika Umat
Oleh sebab itu sudah semestinya -bahkan wajib- bagi para penimba ilmu dan para da’i untuk memperhatikan masalah ini dengan baik dan menjadikan dakwah tauhid serta pengingkaran terhadap syirik dan menepis syubhat sebagai prioritas utama dalam dakwah mereka. Inilah yang harus dilakukan dan inilah dakwahnya para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Sebab segala masalah lebih ringan dibanding syirik. Selama syirik masih merajalela, bagaimana mungkin anda justru mengingkari masalah-masalah yang lain! Kita harus memulai dengan pengingkaran terhadap syirik terlebih dulu dan kita bebaskan kaum muslimin dari keyakinan-keyakinan jahiliyah ini. Kita jelaskan kepada mereka dengan hujjah/dalil dan bukti yang jelas, dan apabila memungkinkan dengan jihad fi sabilillah, hingga ajaran Islam yang hanif ini kembali kepada kaum muslimin. Semuanya bisa berjuang sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, di mana pun dan kapan pun. Wajib bagi para da’i untuk tidak melalaikan masalah ini yang akan menyebabkan mereka justru lebih memperhatikan masalah-masalah lain dan mengerahkan segenap perjuangan dan usaha mereka untuk mengatasi hal itu. Janganlah mereka menutup mata dari realita umat manusia yang terjerumus di dalam syirik dan penyembahan kepada tempat-tempat keramat serta berkuasanya para penyebar ajaran khurafat dan merebaknya ajaran sufi yang menjajah akal sehat manusia. Ini adalah perkara yang tidak boleh didiamkan. Setiap dakwah yang tidak mengarah kepada pelarangan dari kerusakan semacam itu adalah dakwah yang cacat, dakwah yang tidak baik, atau dakwah yang tidak akan membuahkan hasil (lihat Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 24 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan. Cet. Ar-Risalah, 1422 H)
Tujuan Dakwah; Akidah atau Daulah?
Salah satu bentuk penyimpangan manhaj dakwah yang muncul di tengah umat pada masa kini adalah seruan dan gerakan untuk memprioritaskan penegakan khilafah atau daulah islamiyah di atas dakwah kepada pemurnian akidah dan pelurusan tauhid.
Hal ini, tentu saja keliru, sebab tujuan pokok dakwah para nabi dan rasul adalah untuk menegakkan tauhid di tengah umat manusia, bukan kekuasaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Semata-mata tegaknya sebuah pemerintahan Islam tidak bisa memperbaiki akidah umat manusia. Realita adalah sebaik-baik bukti atasnya. Di sana ada sebagian negara pada masa kini yang membanggakan diri tegak sebagai negara Islam. Akan tetapi ternyata akidah para penduduk negeri tersebut adalah akidah pemujaan berhala yang sarat dengan khurafat dan dongeng belaka. Hal itu disebabkan mereka telah menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam berdakwah menuju Allah (lihat asy-Syirk fil Qadim wal Hadits [1/80] oleh Abu Bakr Muhammad Zakariya. Cet. Maktabah ar-Rusyd, 1422 H)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan syari’at, penegakan hudud, tegaknya daulah islamiyah, menjauhi hal-hal yang diharamkan serta melakukan kewajiban-kewajiban [syari’at] ini semua adalah hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang dari tauhid. Bagaimana mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya justru diabaikan?” (lihat dalam kata pengantar beliau terhadap kitab Manhaj al-Anbiya’ fi ad-Da’wah ila Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah hal. 11 Maktabah al-Ghuroba’ al-Atsariyah, cet. ke-2 tahun 1414 H)
Imam Ahli Hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menjelaskan, “Nuh –‘alaihis salam– telah menetap di tengah-tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh (baca: 950 tahun). Beliau mencurahkan waktunya dan sebagian besar perhatiannya untuk berdakwah kepada tauhid. Meskipun demikian, ternyata kaumnya justru berpaling dari ajakannya. Sebagaimana yang diterangkan Allah ‘azza wa jalla di dalam Muhkam at-Tanzil (baca: al-Qur’an) dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka -kaum Nuh- berkata: Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian; jangan tinggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (QS. Nuh: 23). Maka hal ini menunjukkan dengan sangat pasti dan jelas bahwasanya perkara terpenting yang semestinya selalu diperhatikan oleh para da’i yang mengajak kepada Islam yang benar adalah dakwah kepada tauhid. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan -yang benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19). Demikianlah yang dipraktekkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau ajarkan.” (lihat Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah, hal. 42)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)